At-Tauhid Edisi 16/08
Definisi Rabbani :
– Orang yang berilmu dan mengajarkan ilmunya. [1]
– Rabbani adalah para ulama’ yang memahami hukum halal dan haram dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.[2]
Sifat seorang rabbani :
1. Seorang yang memiliki pengetahuan agama/ilmu.
2. Mengamalkan ilmunya.
3. Mengajarkannya.[3]
4. Mengikuti pemahaman para sahabat nabi dan metode mereka dalam beragama.
Mempersiapkan generasi rabbani :
1. Membekali anak dengan tauhid kepada Allah.
2. Membiasakan ibadah salat bagi anak sejak dini.
3. Menyiapkan alat tertentu dalam rangka mendidik anak.
4. Memisahkan tempat tidur putra dan putri setelah berusia 10 tahun.
5. Memperbanyak doa untuk diri dan anggota keluarga.
[1] Ibnu Zubair radhiyallahu ‘anhu
[2] Dinukil oleh Imam Abu Ubaid
[3] Ibnul Arabi dalam Miftah Dar as-Sa’adah
Semua masyarakat yang beriman mendambakan generasi masa depan yang rabbani. Bahkan mereka sendiri berharap bisa menjadi generasi rabbani itu sendiri. Karena semua sadar, bahwa label rabbani menggambarkan generasi emas umat Islam. Bagaimanakah cara mewujudkan generasi idaman ini?
Pengertian Istilah “Rabbani”
Terdapat beberapa riwayat, baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in, tentang definisi istilah “rabbani”. Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, beliau mendefinisikan “rabbani” sebagai berikut: generasi yang memberikan santapan rohani bagi manusia dengan ilmu (hikmah) dan mendidik mereka atas dasar ilmu. Sementara Ibnu Abbas radliallahu ‘anhuma dan Ibnu Zubair mengatakan: Rabbaniyun adalah orang yang berilmu dan mengajarkan ilmunya.
Qatadah dan Atha’ mengatakan: Rabbaniyun adalah para fuqaha’, ulama, pemilik hikmah (ilmu).
Imam Abu Ubaid menyatakan, bahwa beliau mendengar seorang ulama yang banyak menelaah kitab-kitab, menjelaskan istilah rabbani: Rabbani adalah para ulama yang memahami hukum halal dan haram dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
Antara Ilmu dan Seorang ‘Rabbani’
Dari semua keterangan di atas, dapat diambil sebuah benang merah bahwa semua ulama yang menjelaskan tentang pengertian istilah rabbani, mereka sepakat bahwa label rabbani hanya digunakan untuk menyebut seseorang yang memiliki sifat-sifat berikut:
1) Berilmu dan memiliki pengetahuan tentang Al-Qur’an dan Sunnah.
2) Mengamalkan ilmu yang telah diketahuinya.
3) Mengajarkannya kepada masyarakat.
4) Sebagian ulama menambahkan sifat keempat, yaitu mengikuti pemahaman para sahabat dan metode mereka dalam beragama. Karena sahabat Nabi merupakan standard kebenaran bagi umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jika seseorang memiliki sifat yang kurang dari salah satu di antara sifat di atas, maka tidak dapat disebut sebagai seorang rabbani. Hal ini sebagaimana yang diisyaratkan oleh Ibnul Arabi, ketika ditanya tentang makna rabbani, beliau mengatakan, “Apabila seseorang itu berilmu, mengamalkan ilmunya, dan mengajarkannya maka layak untuk dinamakan seorang rabbani. Namun jika kurang salah satu dari tiga hal di atas, kami tidak menyebutnya sebagai seorang rabbani.” (Miftah Dar as-Sa’adah, 1/124).
Menuju Generasi Rabbani
Mendidik masyarakat menjadi generasi rabbani merupakan tanggung jawab semua orang. Karena semua manusia memiliki tanggung jawab untuk berdakwah dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Hanya saja tanggung jawab ini bertingkat-tingkat, sesuai dengan tingkatan ilmu dan ketakwaan seseorang.
Untuk bisa mewujudkan generasi rabbani seutuhnya, agenda besar ini harus dimulai dari lingkungan belajar yang lingkupnya paling kecil, yaitu keluarga. Karena itu, Allah perintahkan agar kepala keluarga dengan serius memperhatikan kondisi keluarganya. Allah berfirman (yang artinya),
“Wahai orang-orang yang beriman, lindungilah diri kalian dan keluarga kalian dari neraka…” (Q.S. At-Tahrim: 6).
Allah gandengkan perintah ini dengan gelar iman, menunjukkan bahwa perintah tersebut merupakan tuntutan dan konsekuensi iman seseorang.
Dalam ayat di atas ada dua perintah. Perintah pertama, lindungi diri kalian, yaitu dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Kedua, lindungi keluarga kalian, dengan memerintahkan untuk mengamalkan kewajiban dan melarang keluarga untuk melanggar larangan. Hal ini sebagaimana dikatakan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, ketika menafsirkan ayat di atas, “Ajari mereka dan didik mereka.” (Tafsir Ibn Katsir, 8/167).
Untuk mewujudkan tujuan ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan beberapa metode dalam mendidik keluarga:
1) Mengajari mereka untuk bertauhid
Allah berfirman menceritakan tentang wasiat yang disampaikan Nabi Ya’qub ketika hendak meninggal dunia (yang artinya), “Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya, ‘Apa yang kamu sembah sepeninggalku?’ Mereka menjawab, ‘Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya’.” (Q.S. Al-Baqarah: 133).
Ayat ini mengajarkan kepada kita satu prinsip penting tentang penanaman aqidah kepada keluarga. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa cerita perjalanan hidup Nabi Ya’qub ‘alaihissalam sangat panjang dan merupakan cerminan akhlak terpuji. Namun penggalan cerita tentang beliau yang Allah pilih dalam al-Qur’an adalah kisah wasiatnya kepada putra-putranya. Demikian juga yang diajarkan Luqmanul Hakim kepada anaknya dalam surat Luqman.
2) Mengajari keluarga untuk melaksanakan salat
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perintahkanlah anak kalian untuk shalat ketika mereka berusia 7 tahun. Dan pukullah mereka untuk dipaksa salat, ketika mereka berusia 10 tahun.”(H.R. Abu Dawud no. 495 dan disahihkan oleh Al-Albani).
Pada asalnya hukum salat tidak wajib bagi anak-anak. Akan tetapi, ketika ada seorang anak meninggalkan salat, sementara orang tuanya tidak memerintahkannya atau memaksanya maka si anak tidak berdosa, namun orang tuanya telah melanggar kewajiban. Karena dirinya wajib untuk memerintahkan anaknya agar melaksanakan shalat. (lihat penjelasan Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari, 9/348). Faidah lainnya adalah bahwa perintah tersebut untuk membiasakan anak mengerjakan salat.
3) Memberikan sedikit ancaman agar mereka tidak bermaksiat
Tujuan memberikan ancaman semacam ini adalah agar anak tidak berani melawan orang tua atau istri melawan suami. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Gantunglah cemeti di tempat yang bisa dilihat penghuni rumah. Karena ini akan mendidik mereka.” (H.R. Thabrani dalam Al-Ausath no. 10671 dan dihasankan oleh Al-Albani).
4) Pisahkan tempat tidur antara anak laki-laki dengan anak perempuan
Ini akan menjadi pendidikan bagi anak untuk memahami bahwa antara laki-laki dan wanita tidak boleh campur baur. Pemisahan ini dimulai ketika mereka menginjak usia 10 tahun. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pisahkan tempat tidur diantara mereka.” (H.R. Abu Dawud no. 495 dan disahihkan al-Albani).
5) Memperbanyak doa untuk kebaikan keluarga
Banyak sekali doa yang Allah ajarkan dalam Al-Qur’an, yang isinya memohon kebaikan bagi keluarga. Demikian pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak mengajarkan hal yang sama dalam haditsnya.
Nabi Ibrahim ‘alaihis salam termasuk nabi yang doanya banyak Allah sebutkan dalam Al-Qur’an. Banyak doa beliau berisi kebaikan untuk dirinya dan keturunannya. Ini menunjukkan bahwa doa Nabi Ibrahim adalah doa yang istimewa di sisi Allah. Di antara doa beliau, “Jauhkanlah aku dan anak cucuku dari menyembah berhala” (Q.S. Ibrahim: 35). Beliau juga berdoa, “Ya Allah, jadikanlah diriku dan keturunanku orang yang bisa menegakkan salat. Ya Allah, kabulkanlah doa.” (Q.S. Ibrahim: 40)
Kemudian doa Nabi Nuh ‘alaihis salam. Beliau memohon kepada Allah agar setiap orang mukmin yang masuk rumahnya diampuni oleh Allah. Ini akan memberi kesempatan agar keluarga kita banyak mendapat ampunan dari Allah. Nabi Nuh berdoa, “Yaa Allah, ampunilah diriku, kedua orang tuaku. Ampunilah setiap orang yang masuk rumahku dalam keadaan beriman, dan kepada seluruh orang mukmin laki-laki maupun wanita.” (Q.S. Nuh: 28).
Allah juga mengajarkan, di antara doa orang mukmin adalah, “Ya Rabb kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Al-Furqan: 74).
Demikian, semoga Allah membimbing kita seluruh kaum muslimin, Aamiin.
Penulis: Ustadz Ammi Nur Baits, S.T., B.A. (Pembina situs www.konsultasisyariah.com dan www.yufid.com)